28 Jul 2010

tulisan motivasi

BELAJAR BISNIS
Oleh : Pak Oles

Setelah saya tamat universitas, saya baru tersadar begitu susahnya mencari pekerjaan. Kalaupun sudah mendapatkan pekerjaan, misalnya menjadi pegawai negeri, tentu harus mengikuti proses mengabdi, menjadi karyawan honor, calon pegawai, pegawai tetap, dan selanjutnya meningkat status kepegawaiannya sesuai pendidikan, kemampuan, dan koneksi. Proses panjang dan bertele-tela itu tidak saya sukai, terlalu panjang dan membuang waktu. Daripada saya stres memikirkan mencari kerja, saya memutuskan untuk jalan-jalan, atau istilah kerennya, saya melakukan studi banding ke kota besar. Saya naik bis ke Jakarta dan bandung, melihat keramaian kota besar, melihat perkantoran besar dan gedung-gedung tinggi.
Saya tertarik dengan hamparan perkebunan teh, karet dan kopi yang saya amati dari jendela bis. Tapi bagaimana caranya saya bisa bekerja disana? Saya tidak tahu. Setelah dua minggu berputar putar di jakarta dan bandung, naik bis angkutan kota, naik taksi, becak dan bajaj, saya merasa sudah cukup pelajaran tentang kota besar itu, sampai pada suatu kesimpulan, bahwa mencari pekerjaan itu susah, bahwa ibu kota lebih kejam daripada ibu tiri. Maka saya putuskan untuk menjadi petani, menjadi menejer lahan pertanian saya sendiri. Saya merasa bebas dan relaks bekerja sesuai dengan potensi dan kemauan saya sendiri. Sebagai risiko, saya tidak mendapatkan gaji bulanan, bahkan saya tidak mendapatkan gaji walaupun habis pane, karena tidak ada untung. Pekerjaan inilah yang menempa saya untuk terbiasa bekerja keras, dengan penuh risiko, dan baru mendapatkan gaji jika saya mendapatkan keuntungan.
Setelah saya pulang dari belajar di Jepang, saya menjadi penanggung jawab kebun percobaan di Gunung Putri, Bogor. Saya menjadi karyawan yang digaji bulanan. Saya dijadwalkan bekerja delapan jam sehari. Dasar otak saya bukan otak orang gajian, maka saya terbiasa bekerja delapan belas jam sehari. Dari pagi sampai malam hari saya sibuk mengurus kebun, mengurus ternak, mengurus pembibitan tanaman buah-buahan, mengurus perikanan dan segala hal yang berhubungan dengan pengembangan lahan pertanian. Saya tidak pernah merasa bekerja di kebun. Saya merasa bermain-main di kebun, sambil memotivasi petani dengan berbincang-bincang berkunjung ke rumahnya. Pikiran saya melihat pertanian adalah bagaimana bisa menghasilkan produk pertanian dengan kuantitas dan kualitas yang bagus, tanpa pernah memikirkan bagaimana cara memasarkannya. Hasilnya adalah, saya bisa menghasilkan produk pertanian berupa sayur-mayur, padi, jagung, lengkuas, jahe, kencur, sereh, daun singkong, telor ayam, daging ternak sapi dan kambing, ikan, tetapi saya tidak menguasai pasarnya. Akhirnya, pekerjaan yang telah saya lakukan dengan susah payah nyaris tidak memberikan keuntungan keuangan. Kenapa demikian? Karena saya tidak mengerti bisnis.
Selanjutnya, selama lima tahun saya menjadi dosen dan peneliti, kehidupan saya berkutat dengan buku, literatur dan laboratorium pertanian. Selama delapan belas jam sehari saya membaca, menulis, mencatat, berdiskusi, menimbang, mengukur parameter-parameter penelitian, sampai mengirim tulisan hasil penelitian dengan harapan bisa dimuat oleh jurnal penelitian di universitas, kemudian jika ada kesempatan bisa mengikuti seminar atau lokakarya. Peneliti yang hebat tentu dinilai dari tulisannya, dari padatnya jadwal seminar, atau banyaknya proyek penelitian yang bisa ditangani. Saya merasakan kepuasan itu semua, tapi terus terang, walaupun malu saya mengatakan, kantong saya kempes, hidup saya sangat ngepas untuk menghidupi diri dan keluarga, bahkan kurang. Sampai akhirnya saya mendapatkan suatu penyadaran untuk belajar bisnis, belajar berdagang, berusaha sendiri, membuat produk sendiri dan memasarkannya sendiri. Bagaimana caranya? Saya berhenti berpikir di sektor produksi, tapi saya memulai berpikir dari sektor pemasaran.
Saya berkenalan dengan Ibu Soenar Soerapoetra di Jakarta. Dia adalah seorang nenek berumur tujuh puluh tahun yang masih cekatan, energik dan pintar berdagang. Dia adalah keluarga kaya yang menikmati masa pensiunnya dengan suaminya di rumahnya yang besar Jakarta dan di vila dan kebunnya di Cicurug, Sukabumi. Saya bekerja tanpa digaji untuk mengurus kebun jeruk nipisnya yang lagi rusak berat akibat salah urus. Setiap sabtu dan minggu saya pergi ke Cicurug mengecek perkembangan tanaman jeruk nipis tersebut. Setiap rabu dan kamis saya menyemprot, memupuk dan merawat tanaman jeruk dengan teknologi pertanian organik, tanpa menggunakan pupuk kimia dan pestisida kimia. Dalam waktu enam bulan, kebun jeruk nipisnya menjadi sehat dan berbuah lebat dan terus berbuah lebat, sampai berjatuhan di tanah. Saya pikir tugas saya selesai. Ternyata Ibu Soenar tidak bergembira melihat tanaman jeruknya sehat dan berbuah lebat, dia memarahi saya habis-habisan. Kenapa? Karena pekerjaan yang saya lakukan belum menghasilkan uang. Belum bisa menjual buah jeruknya. Karena saya baru bisa menghasilkan sampah berupa buah jeruk nipis yang berserakan di tanah sampai tidak ada harganya. “Bagaimana saya bisa menggaji kamu kalau kamu hanya bisa menghasilkan sampah. Menggaji orang harus dengan uang, bukan dengan jeruk,” hardiknya sambil bersungut-sungut. Saya merasa kecewa bercampur malu, menjadi orang goblok menghasilkan uang.
Adrenalin saya terpacu menerima tantangan. Esok harinya buah jeruk saya bungkus-bungkus ke dalam tas kresek, masing-masing dua kilo gram. Saya mulai belajar bisnis dengan memasarkan buah jeruk nipis dari teman ke teman, kemudian dari warung-ke warung. Saya pergi ke pasar menjual jeruk yang berkualitas sedang dengan harga yang lebih murah. Untuk kualitas jeruk yang bagus, saya menjualnya dengan harga yang lebih tinggi. Selanjutnya pekerjaan saya bertambah, dari menjadi peneliti dan guru, saya juga belajar berdagang jeruk nipis. Walaupun banyak orang yang bingung dan tersenyum melihat aktivitas bisnis jeruk itu, tapi saya merasa bangga, karena saya baru bisa menikmati keuntungan dari hasil penelitian saya. Kalau Ibu Soenar tidak memarahi saya, mungkin sampai sekarang saya tidak bisa bisnis. Sepuluh tahun kemudian, saya menjenguk Ibu Soenar dalam keadaan sakit keras, dia masih mengingat saya dengan baik, walau kadang-kadang ingatannya pikun. “Tolong rawat tanaman jeruk nipis oma dan jual hasilnya agar ada untung, untuk oma belikan obat,” katanya terbata-bata. Hati saya sedih dan gembira melihat kegigihan Ibu Soenar melawan penyakit, tapi masih ingat dengan kebun jeruk nipisnya di Sukabumi. Dua bulan kemudian, saya mendengar berita, bahwa Ibu Soenar sudah menghadap Yang Maha Kuasa. Hati saya sedih ditinggal guru bisnis yang saya sayangi. Selamat jalan Oma.....!





















BELAJAR BISNIS
Oleh : Pak Oles

Setelah saya tamat universitas, saya baru tersadar begitu susahnya mencari pekerjaan. Kalaupun sudah mendapatkan pekerjaan, misalnya menjadi pegawai negeri, tentu harus mengikuti proses mengabdi, menjadi karyawan honor, calon pegawai, pegawai tetap, dan selanjutnya meningkat status kepegawaiannya sesuai pendidikan, kemampuan, dan koneksi. Proses panjang dan bertele-tela itu tidak saya sukai, terlalu panjang dan membuang waktu. Daripada saya stres memikirkan mencari kerja, saya memutuskan untuk jalan-jalan, atau istilah kerennya, saya melakukan studi banding ke kota besar. Saya naik bis ke Jakarta dan bandung, melihat keramaian kota besar, melihat perkantoran besar dan gedung-gedung tinggi.
Saya tertarik dengan hamparan perkebunan teh, karet dan kopi yang saya amati dari jendela bis. Tapi bagaimana caranya saya bisa bekerja disana? Saya tidak tahu. Setelah dua minggu berputar putar di jakarta dan bandung, naik bis angkutan kota, naik taksi, becak dan bajaj, saya merasa sudah cukup pelajaran tentang kota besar itu, sampai pada suatu kesimpulan, bahwa mencari pekerjaan itu susah, bahwa ibu kota lebih kejam daripada ibu tiri. Maka saya putuskan untuk menjadi petani, menjadi menejer lahan pertanian saya sendiri. Saya merasa bebas dan relaks bekerja sesuai dengan potensi dan kemauan saya sendiri. Sebagai risiko, saya tidak mendapatkan gaji bulanan, bahkan saya tidak mendapatkan gaji walaupun habis pane, karena tidak ada untung. Pekerjaan inilah yang menempa saya untuk terbiasa bekerja keras, dengan penuh risiko, dan baru mendapatkan gaji jika saya mendapatkan keuntungan.
Setelah saya pulang dari belajar di Jepang, saya menjadi penanggung jawab kebun percobaan di Gunung Putri, Bogor. Saya menjadi karyawan yang digaji bulanan. Saya dijadwalkan bekerja delapan jam sehari. Dasar otak saya bukan otak orang gajian, maka saya terbiasa bekerja delapan belas jam sehari. Dari pagi sampai malam hari saya sibuk mengurus kebun, mengurus ternak, mengurus pembibitan tanaman buah-buahan, mengurus perikanan dan segala hal yang berhubungan dengan pengembangan lahan pertanian. Saya tidak pernah merasa bekerja di kebun. Saya merasa bermain-main di kebun, sambil memotivasi petani dengan berbincang-bincang berkunjung ke rumahnya. Pikiran saya melihat pertanian adalah bagaimana bisa menghasilkan produk pertanian dengan kuantitas dan kualitas yang bagus, tanpa pernah memikirkan bagaimana cara memasarkannya. Hasilnya adalah, saya bisa menghasilkan produk pertanian berupa sayur-mayur, padi, jagung, lengkuas, jahe, kencur, sereh, daun singkong, telor ayam, daging ternak sapi dan kambing, ikan, tetapi saya tidak menguasai pasarnya. Akhirnya, pekerjaan yang telah saya lakukan dengan susah payah nyaris tidak memberikan keuntungan keuangan. Kenapa demikian? Karena saya tidak mengerti bisnis.
Selanjutnya, selama lima tahun saya menjadi dosen dan peneliti, kehidupan saya berkutat dengan buku, literatur dan laboratorium pertanian. Selama delapan belas jam sehari saya membaca, menulis, mencatat, berdiskusi, menimbang, mengukur parameter-parameter penelitian, sampai mengirim tulisan hasil penelitian dengan harapan bisa dimuat oleh jurnal penelitian di universitas, kemudian jika ada kesempatan bisa mengikuti seminar atau lokakarya. Peneliti yang hebat tentu dinilai dari tulisannya, dari padatnya jadwal seminar, atau banyaknya proyek penelitian yang bisa ditangani. Saya merasakan kepuasan itu semua, tapi terus terang, walaupun malu saya mengatakan, kantong saya kempes, hidup saya sangat ngepas untuk menghidupi diri dan keluarga, bahkan kurang. Sampai akhirnya saya mendapatkan suatu penyadaran untuk belajar bisnis, belajar berdagang, berusaha sendiri, membuat produk sendiri dan memasarkannya sendiri. Bagaimana caranya? Saya berhenti berpikir di sektor produksi, tapi saya memulai berpikir dari sektor pemasaran.
Saya berkenalan dengan Ibu Soenar Soerapoetra di Jakarta. Dia adalah seorang nenek berumur tujuh puluh tahun yang masih cekatan, energik dan pintar berdagang. Dia adalah keluarga kaya yang menikmati masa pensiunnya dengan suaminya di rumahnya yang besar Jakarta dan di vila dan kebunnya di Cicurug, Sukabumi. Saya bekerja tanpa digaji untuk mengurus kebun jeruk nipisnya yang lagi rusak berat akibat salah urus. Setiap sabtu dan minggu saya pergi ke Cicurug mengecek perkembangan tanaman jeruk nipis tersebut. Setiap rabu dan kamis saya menyemprot, memupuk dan merawat tanaman jeruk dengan teknologi pertanian organik, tanpa menggunakan pupuk kimia dan pestisida kimia. Dalam waktu enam bulan, kebun jeruk nipisnya menjadi sehat dan berbuah lebat dan terus berbuah lebat, sampai berjatuhan di tanah. Saya pikir tugas saya selesai. Ternyata Ibu Soenar tidak bergembira melihat tanaman jeruknya sehat dan berbuah lebat, dia memarahi saya habis-habisan. Kenapa? Karena pekerjaan yang saya lakukan belum menghasilkan uang. Belum bisa menjual buah jeruknya. Karena saya baru bisa menghasilkan sampah berupa buah jeruk nipis yang berserakan di tanah sampai tidak ada harganya. “Bagaimana saya bisa menggaji kamu kalau kamu hanya bisa menghasilkan sampah. Menggaji orang harus dengan uang, bukan dengan jeruk,” hardiknya sambil bersungut-sungut. Saya merasa kecewa bercampur malu, menjadi orang goblok menghasilkan uang.
Adrenalin saya terpacu menerima tantangan. Esok harinya buah jeruk saya bungkus-bungkus ke dalam tas kresek, masing-masing dua kilo gram. Saya mulai belajar bisnis dengan memasarkan buah jeruk nipis dari teman ke teman, kemudian dari warung-ke warung. Saya pergi ke pasar menjual jeruk yang berkualitas sedang dengan harga yang lebih murah. Untuk kualitas jeruk yang bagus, saya menjualnya dengan harga yang lebih tinggi. Selanjutnya pekerjaan saya bertambah, dari menjadi peneliti dan guru, saya juga belajar berdagang jeruk nipis. Walaupun banyak orang yang bingung dan tersenyum melihat aktivitas bisnis jeruk itu, tapi saya merasa bangga, karena saya baru bisa menikmati keuntungan dari hasil penelitian saya. Kalau Ibu Soenar tidak memarahi saya, mungkin sampai sekarang saya tidak bisa bisnis. Sepuluh tahun kemudian, saya menjenguk Ibu Soenar dalam keadaan sakit keras, dia masih mengingat saya dengan baik, walau kadang-kadang ingatannya pikun. “Tolong rawat tanaman jeruk nipis oma dan jual hasilnya agar ada untung, untuk oma belikan obat,” katanya terbata-bata. Hati saya sedih dan gembira melihat kegigihan Ibu Soenar melawan penyakit, tapi masih ingat dengan kebun jeruk nipisnya di Sukabumi. Dua bulan kemudian, saya mendengar berita, bahwa Ibu Soenar sudah menghadap Yang Maha Kuasa. Hati saya sedih ditinggal guru bisnis yang saya sayangi. Selamat jalan Oma.....!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar